Teknologi Digital Diabaikan di Tengah Horor Kemacetan Pelabuhan, Kata Pakar Teknologi Informasi

-

Kemacetan yang terjadi di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok, kian meresahkan warga Koja, Jakarta Utara. Masalah klasik yang belum kunjung terselesaikan ini menjadi sorotan dalam diskusi publik via Zoom yang digagas oleh Masjid Al-Mukarromah, Rumah Demokrasi dan Ikatan Alumni FH Untag Jakarta. Ramdansyah yang juga Ketua IKA FH Untag Jakarta tampil sebagai host dalam diskusi tersebut.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Tenaga Kerja Bongkar Muat (SP TKBM) Indonesia, Subhan Hadil, menyebut kondisi ini sebagai bentuk kegagalan sinkronisasi antarinstansi terkait.

“Kemacetan ini sudah berlangsung lama, dan dampaknya sangat nyata bagi kami pekerja harian. Tidak ada kompensasi untuk hari kerja yang hilang. Sopir logistik pun kehilangan waktu karena hanya bisa menunggu,” ungkap Subhan dalam diskusi Zoom, Minggu, 20 April 2025.

“Kemacetan tersebut menimbulkan dampak ekonomi, sosial dan imateril,” jelas Subhan.

Seperti terhambatnya alur ekspor-impor, Biaya logistik melonjak drastis, Efisiensi industri menurun. Bahkan bisa saja menggerus kepercayaan global atas sistem pelabuhan nasional.

“Dampaknya bagi tenaga kerja bongkar muat diantaranya hilangnya kesempatan kerja harian, karena sistem berbasis volume. Dampak psikologis: stres, kelelahan, dan ketidakpastian. Penurunan kualitas hidup keluarga buruh. Tidak ada kompensasi atau jaminan sosial ekonomi atas hari kerja yang hilang,” jelas Subhan.

“Adapun dampak terhadap sopir truk dan armada logistik, seperti kehilangan waktu, pendapatan, dan peningkatan risiko keselamatan kerja. Tidak adanya dukungan moril, finansial, atau asuransi sosial dari pengusaha atau asosiasi. Banyak sopir tidur di truk berhari-hari tanpa fasilitas dasar,” imbuhnya.

Horor macet juga berdampak sosial terhadap warga sekitar. Seperti hilangnya waktu produktif dan kesempatan bekerja.

Polusi udara dan kebisingan ekstrem.

“Stres sosial, konflik jalan, dan penurunan kualitas hidup. Hilangnya akses anak ke sekolah dan fasilitas kesehatan akibat kemacetan total,” ujar Subhan.

Menurutnya harus ada peran dan tanggung jawab para pihak. Misalnya untuk Pelindo dan KSOP dengan meningkatkan gate management dan koordinasi kapal-sandar-bongkar.

KSOP harus hadir penuh di lapangan, bukan hanya memberi izin. Kebijakan rotasi bongkar muat harus adil dan efisien, tidak hanya melayani kepentingan operator.

“Juga perlu ada dana kompensasi materil (transportasi alternatif, konsumsi pekerja, overtime akibat macet). Kompensasi imateril : layanan kesehatan tambahan, layanan trauma healing, fasilitas pekerja dan publik darurat,” jelas Subhan.

Pria yang tinggal di Tanjung Priok ini mengungkapkan, berbagai pihak perlu bertanggung jawab.

“Pelindo, pengelola tol, hingga pemerintah kota harus hadir memberikan solusi konkret. Jangan hanya membagikan nasi bungkus atau menarik uang tol, tapi abaikan krisis di lapangan. Dibutuhkan pusat krisis yang aktif 24 jam,” tegasnya.

Tak hanya soal lalu lintas, kemacetan juga berdampak pada reputasi sistem logistik nasional. “Kepercayaan dunia internasional bisa hilang jika sistem pelabuhan kita dinilai buruk. Ini bukan takdir, ini karena tidak ada koordinasi,” tambahnya.

Sistem Antrean Truk Masih Manual

Yamin El Rust, pimpinan Media Sosial Network Nawala yang juga tinggal di Tanjung Priok, menyoroti lemahnya sistem manajemen antrean truk.

“Masih manual atau semi digital. Real-time tracking tidak jalan, dan petugas tidak tahu kondisi di lapangan,” ujarnya.

Menurut Yamin, lemahnya koordinasi dan tata kelola antar mitra di pelabuhan menjadi pemicu kemacetan. Solusi cepat seperti penjadwalan slot truk secara digital, pengawasan lalu lintas real-time, hingga pembentukan grup komunikasi 24 jam bisa diterapkan untuk mengatasi krisis ini. Ada tiga solusi yang disampaikan Yamin el Rust.

Solusi taktis dan cepat yang diusulkan Yamin dalam diskusi tersebut diurai antara lain. Pertama, penjadwalan slot truk yang lebih ketat dan transparan. Lebih rinci ia menjelaskan perlunya penggunaan sistem antrian digital aktif, kuota harian, dan pemblokiran ketika terjadi overload.

Penjadwalan juga membutuhkan koordinasi antara terminal, freight forwarder, dan pihak logistik.

Solusi kedua adalah traffic marshal di Jalur Utama. Solusi ini membutuhkan tim gabungan dari Dinas Lalu Linta Angkutan Jalan (DLLAJ), Pelabuhan Indonesia (Pelindo), dan Polri. Mereka ini mengatur arus kendaraan secara real-time.

Meskipun demikian Yamin memberikan penegasan teknologi harus melekat pada tim gabungan ini. Saluran komunikasi grup Whatsaap 24 jam harus mencakup Pelindo, EMKL, Trucking, Forwarder, dan DLLAJ. Tidak lupa pemanfaatan teknologi drone dan google maps digunakan untuk mendapatkan informasi antrian, gangguan, dan waktu tunggu yang diperbarui terus-menerus.

Yamin el Rust menyampaikan solusi ketiga dengan pendekatan Buffer Zone Darurat. Solusi ini dilakukan dengan pemanfaatan lahan kosong di sekitar pelabuhan untuk parkir truk sementara. Pendekatan ini membutuhkan kolaborasi para pemangku kepentingan seperti dari Perhubungan, Terminal, Pelabuhan shub, terminal, dan Pemerintah.

Warga Priok Masih Terpinggirkan

Narasumber diskusi semuanya berasal dari wilayah Tanjung Priok. Peserta daring diskusi juga kebanyakan dari wilayah ini. Mereka antara lain Farid Wajedi Abdulah selaku Ketua Rw 09 Kelurahan Lagoa, Andi Noviandi dari Dewan Kota Jakarta Utara, Anung MHD dari Aliansi Jakarta Utara Menggugat, dan Maman Firmansyah, mantan anggota DPRD DKI Jakarta Periode 2009-2014 dan Periode 2014-2019.

Maman yang turut menjadi narasumber menilai bahwa keuntungan besar yang diraih Pelindo tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan warga.

“Infrastruktur memang dibangun, seperti jalan tol, tapi nyatanya tak berdampak signifikan di kawasan pelabuhan. Tolnya mahal, tapi macet tetap parah,” ucapnya.

Ia juga mempertanyakan kontribusi nyata Pelindo kepada Pemkot Jakarta Utara.

“Kalau memang Pelabuhan Tanjung Priok tidak lagi layak untuk ekspor-impor, mungkin sudah saatnya difungsikan sebagai pelabuhan penumpang saja,” tuturnya.

Maman bahkan menyarankan kemungkinan class action oleh warga sebagai bentuk tekanan terhadap pemerintah dan pengelola pelabuhan.

“Warga sudah terlalu lama menanggung dampak. Pelabuhan seharusnya bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga memberikan rasa aman dan nyaman,” tegasnya.

Class Action sebagai Solusi?

Sementara itu, Ramdansyah, Pengamat Sosial, Pimpinan Rumah Demokrasi yang tinggal di Tanjung Priok menjelaskan pihak terdampak dapat mengajukan class action. Hal itu sebagaimana diatur dalam Perma nomor 1 tahun 2002.

Ramdansyah menjelaskan, “bahwa peristiwa-peristiwa, kegiatan-kegiatan atau suatu perkembangan dapat menimbulkan pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan masal terhadap orang banyak. Sangatlah tidak efektif dan efisien penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan masal terhadap orang banyak yang memiliki fakta dasar hukum, dan tergugat yang sama apabila diajukan serta diselesaikan sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam satu gugatan. Inilah yang disebut class action”.

“Syarat untuk class action, adanya kerugian yang diderita oleh sekelompok orang/masyarakat. Kerugian publik dalam horor macet secara nyata terlihat. Akibat kelalaian/kesalahan pihak lain. Dua hal itu sudah cukup utk mengajukan class action,” tambah Ramdansyah.

Siapakah yang diduga lalai? Selain pelabuhan.

Ramdansyah menjelaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Stakeholder pembinaan bidang lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) sebagai berikut:

Urusan pemerintahan di bidang prasarana jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab di bidang jalan, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;

Urusan di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab dibidang sarana dan prasarana lalu lintas angkutan jalan, dalam hal ini Kementerian Perhubungan;

Urusan pengembangan industri lalu lintas dan angkutan jalan, oleh kementerian yang bertanggung jawab dibidang industri, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan kementerian perdagangan dan kementerian perhubungan

“Urusan pengembangan dibidang teknologi lalu lintas dan angkutan jalan oleh kementerian yang bertanggung jawab dibidang teknologi,” pungkasnya.

Ramdansyah selaku host diskusi menutup rangkaian diskusi bahwa target dari diskusi ini bukan ke arah politik, tetapi lebih pada upaya menegakkan hak-hak warga Jakarta Utara untuk menyampaikan pandangannya agar tidak terkena dampak yang lebih luas.

Ia memberikan foto-foto dari slide yang dipaparkan seperti tenaga medis yang mendorong pasien di ranjang dengan infus di tangan untuk menuju Rumah Sakit Umum Daerah Koja yang nyaris tertutup aksesnya dengan kemacetan lalu lintas.

Ia mengharapkan pelayanan kesehatan untuk kondisi darurat tetap diperhatikan meskipun di tengah kemacetan lalu lintas. Kalau ini diabaikan, maka mereka yang terdampak dapat bersama-sama melakukan class action.

Related Stories