Teror OPM Jadi Ancaman Nyata Bagi Hak Asasi Manusia di Papua
Oleh: Loa Murib
Aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah menjelma menjadi ancaman nyata terhadap perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Di tengah upaya pemerintah dan masyarakat sipil untuk mendorong pembangunan dan perdamaian, OPM justru terus melancarkan tindakan-tindakan teror yang merugikan warga sipil. Kekerasan, intimidasi, pemaksaan, dan serangan terhadap fasilitas publik menjadi bukti bahwa kelompok ini tidak hanya menjadi ancaman bagi stabilitas keamanan, tetapi juga terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi.
Di wilayah Pegunungan Tengah Papua, masyarakat sipil menjadi korban langsung dari kekejaman kelompok ini. Tokoh masyarakat setempat, Yonas Tabuni, mengungkapkan bahwa OPM kerap memasuki kampung-kampung, mengambil hasil kebun warga, memaksa penduduk menyerahkan logistik, dan bahkan mengancam mereka yang menolak. Dalam banyak kasus, warga tidak berdaya menghadapi intimidasi ini karena tantangan geografis yang menyulitkan proses perlindungan optimal. Tindakan semacam ini bukan hanya menimbulkan ketakutan, tetapi juga merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas rasa aman, hak atas kepemilikan, dan hak untuk hidup damai.
Lebih dari sekadar gangguan keamanan, kekerasan yang dilakukan oleh OPM telah menciptakan penderitaan mendalam di tengah masyarakat. Yonas menegaskan bahwa kekerasan tersebut tidak memandang siapa korbannya. Guru, tenaga kesehatan, petani, bahkan anak-anak pun menjadi sasaran. Ini menunjukkan bahwa kekejaman OPM telah melampaui batas moral dan hukum. Apa yang mereka lakukan tidak bisa lagi disebut perjuangan, melainkan aksi brutal yang memperparah derita rakyat Papua sendiri.
Puncak dari pelanggaran HAM tersebut tercermin dalam penembakan yang terjadi di RSUD Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Dalam insiden ini, OPM melalui sayap bersenjatanya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), mengakui bertanggung jawab atas aksi penyerangan tersebut. Serangan ini menuai kecaman keras dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang menyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Fasilitas kesehatan seperti rumah sakit seharusnya menjadi zona netral dalam konflik, sesuai dengan Konvensi Jenewa. Serangan terhadap rumah sakit tidak hanya melanggar hak atas hidup dan hak atas kesehatan, tetapi juga menciptakan trauma kolektif di tengah masyarakat.
Ketika rumah sakit sebagai tempat pelayanan dasar kesehatan diserang, masyarakat semakin kehilangan harapan akan perlindungan. Tenaga medis yang semestinya menjadi penyelamat nyawa pun menjadi sasaran ketakutan. Aksi ini membuktikan bahwa OPM tidak lagi memiliki batas moral dalam melancarkan aksinya. Penyerangan terhadap rumah sakit bukan hanya tindakan tidak manusiawi, tetapi juga memperlihatkan degradasi moral yang sangat parah dalam perjuangan mereka.
Selain menyebabkan korban jiwa dan luka-luka, kekerasan yang dilakukan OPM juga berdampak besar terhadap kondisi sosial masyarakat Papua. Di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, ribuan warga terpaksa mengungsi akibat meningkatnya ancaman dan kekerasan dari kelompok bersenjata. Data dari Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan bahwa sebanyak 3.208 jiwa harus meninggalkan kampung halaman mereka demi keselamatan. Gelombang pengungsian ini memperparah kondisi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan masyarakat setempat yang sudah rentan. Pengungsian massal akibat konflik bersenjata adalah pelanggaran HAM dalam bentuk paling nyata, karena merampas hak warga atas tempat tinggal, rasa aman, dan kehidupan yang layak.
Di tengah situasi yang mengancam ini, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengambil langkah-langkah strategis untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat. Dansatgas Media HABEMA, Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono, menegaskan bahwa seluruh operasi yang dilakukan TNI di Papua tetap menjunjung tinggi prinsip hukum dan hak asasi manusia. Ia menekankan bahwa TNI hadir bukan untuk menindas, tetapi untuk melindungi masyarakat dari ancaman nyata kelompok bersenjata. Profesionalisme, legalitas, dan pendekatan humanis menjadi prinsip utama dalam menjaga stabilitas dan melayani kebutuhan masyarakat di daerah rawan konflik.
Letkol Iwan juga menyampaikan bahwa keberadaan pos militer di wilayah-wilayah strategis bukan semata untuk operasi tempur, tetapi juga bertujuan untuk menciptakan rasa aman dan memperkuat kehadiran negara di tengah masyarakat. TNI bahkan menjalankan program-program berbasis kemanusiaan seperti bantuan kesehatan, dukungan pendidikan, serta proyek pembangunan kecil di desa-desa terpencil. Pendekatan ini menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam melihat penderitaan rakyat, tetapi berupaya hadir secara aktif dengan pendekatan kolaboratif dan solutif.
Apa yang terjadi di Papua saat ini menuntut perhatian dan komitmen semua pihak. Kekerasan yang dilakukan OPM tidak bisa lagi dilihat sebagai perjuangan yang sah, karena justru menghancurkan prinsip-prinsip HAM yang selama ini mereka gaungkan. Masyarakat Papua justru menjadi korban utama, terjebak dalam ketakutan, kehilangan hak atas pendidikan, kesehatan, dan penghidupan yang layak. Serangan terhadap fasilitas kesehatan, penyanderaan tenaga pendidik, serta eksodus warga sipil adalah bukti nyata bahwa OPM telah bertransformasi menjadi aktor pelanggar HAM.
*Penulis adalah Mahasiswa Papua Di Jawa Timur
[edRW]