Tokoh Agama Berperan Cegah Hasutan dan Provokasi Jelang Pemilu 2024
Oleh : Alif Fikri
Pemilu akan menjadi ajang yang sangat mendebarkan. Bukan hanya karena banyak orang yang menanti siapa yang jadi presiden Indonesia selanjutnya? Namun karena banyak hasutan kebencian yang biasanya muncul ketika masa kampanye.
Para tokoh agama wajib bekerjasama untuk mengawasi agar masyarakat tidak saling menyerang dan menumpahkan ujaran kebencian, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Sejak Indonesia memasuki masa teknologi informasi, banyak masyarakat yang hobi berseluncur di internet.
Namun sayang dunia maya dinodai oleh hasutan kebencian dan hoaks. Semua terjadi setelah gerbang reformasi dibuka dan masyarakat bisa berpendapat sebebas-bebasnya. Namun mereka lupa untuk mengerem lalu mengemukakan isi pikiran dengan kata-kata buruk dan hasutan kebencian.
Hasutan kebencian (hate speech) masyarakat juga wajib menangkis hate speech karena pelakunya bisa merusak perdamaian di Indonesia. Oleh karena itu ujaran kebencian harus dicegah, terutama oleh para tokoh agama. Mereka memiliki posisi terhormat dan ucapannya akan dituruti oleh masyarakat.
Bawaslu mengajak para pemuka agama gotong-royong mengawasi dan mencegah terjadinya hasutan kebencian dan berita bohong jelang Pemilu 2024 mendatang. Anggota Bawaslu Totok Hariyono mengatakan Bawaslu membutuhkan bantuan dari berbagai komponen masyarakat agar Pemilu bebas dari hasutan kebencian, hoaks, dan lainnya.
Gotong royong pengawasan dan pencegahan gangguan tersebut, demi terciptanya Pemilu 2024 yang lebih sehat, terpercaya, dan legitimatif. Upaya pencegahan tidak dapat terlaksana dengan maksimal jika gotong rotongnya tidak maksimal atau masih kurang.
Totok menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 280 ayat (1) huruf C telah mengatur larangan bagi pelaksana, peserta dan tim sukses dalam berkampanye diantaranya terkait dengan hasutan dan ujaran kebencian.
Pelanggaran terhadap Pasal 280 ayat (1) huruf c, d dan e tersebut akan dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 521 UU Pemilu.
Dalam artian, hasutan dan ujaran kebencian ini ada sanksi pidananya. Masyarakat jangan sembarangan untuk berkomentar negatif, terutama di media sosial. Penyebabnya karena mereka bisa kena pasal pencemaran nama baik dan UU ITE.
Para tokoh agama juga dengan gencar mengawasi hasutan kebencian di masyarakat agar tidak makin meluas. Jangan sampai perdamaian terkikis gara-gara perbedaan pandangan politik. Jika perbedaan membuat sebagian kelompok melakukan ujaran kebencian maka akan jadi kacau karena menyulut permusuhan, tak hanya di dunia maya tetapi juga di dunia nyata. Permusuhan bisa merembet ke tawuran yang mengakibatkan banyak kerugian.
Seharusnya para tokoh agama memberi ceramah untuk menghindari hate speech, tetapi sebaliknya, melakukan toleransi dan saling berbicara yang baik. Bukankah Nabi bersabda berkata baik atau diam? Jika semua orang bertoleransi dan menenggang rasa atas perbedaan, dan tidak mudah menghina orang lain yang memiliki pandangan yang tidak sama, maka kita akan memiliki perdamaian.
Penceramah Habib Jakfar bersama sejumlah tokoh agama mengadakan deklarasi perdamaian sebelum Pemilu 2024, dan mereka sepakat melarang penggunaan rumah ibadah untuk kampanye. Habib Jakfar juga melarang keras hasutan kebencian di masyarakat karena bisa memanaskan suasana sebelum Pemilu.
Saat ini ujaran kebencian dengan mudah ditemukan di dunia maya, dengan alasan tidak saling melihat wajah secara langsung, sehingga merasa bebas. Padahal yang dihadapi adalah manusia biasa yang memiliki hati sehingga bisa marah ketika dihina karena hate speech orang lain.
Oleh karena itu para tokoh agama wajib mencegah tersebarnya ujaran kebencian, karena bisa merusak perdamaian di Indonesia. Sebaliknya, tokoh agama jangan melakukan hate speech. Jika ada yang selalu berceramah dengan berapi-api dan membenci pemerintah serta berkata-kata kasar. Padahal sebagai penceramah seharusnya mereka membawa pencerahan, bukannya kebencian.
Video-video tentang penceramah yang selalu melakukan ujaran kebencian juga seharusnya diblokir, dan pihak sosial media serta platform video wajib bekerja sama dengan pemerintah. Caranya dengan men-take down video tersebut karena bisa memecah perdamaian di negeri ini.
Masyarakat yang menonton video hate speech juga bisa melaporkan ke polisi siber yang memang tugasnya menangani ketidakberesan di dunia maya. Nanti penyebar dan pembuat video bisa dicokok karena memecah perdamaian dan sekaligus melanggar UU ITE, sehingga terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Jika seluruh elemen masyarakat kompak maka optimis Pemilu 2024 akan berjalan dengan lancar. Tak hanya tokoh agama tetapi semua pihak wajib menyadari bahaya hate speech yang akan membuat kekacauan selama Pemilu 2024, bahkan sesudahnya.
Para tokoh agama bekerjasama dalam mengawasi ujaran kebencian, terutama di dunia maya. Sebelum Pemilu jangan ada pihak yang mencari gara-gara dengan melontarkan hate speech. Masyarakat juga diminta untuk menuruti imbauan para tokoh agama untuk Pemilu dengan damai dan tidak membuat kerusuhan saat kampanye.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute