Transformasi Regulasi Pajak: Menangkap Nilai Ekonomi Digital

-

Transformasi Regulasi Pajak: Menangkap Nilai Ekonomi Digital

Oleh: Winna Nartya

Ekonomi digital Indonesia tengah menapaki puncak pertumbuhan, dengan nilai diproyeksikan mencapai US$ 146 miliar pada 2025. Namun tanpa kerangka perpajakan yang adaptif, potensi penerimaan dari sektor ini akan terbuang sia-sia. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi kebutuhan mendesak untuk merumuskan regulasi baru yang memperjelas kewajiban pajak atas transaksi digital. Sebagai pendukung penuh inisiatif ini, saya melihat beberapa alasan kunci mengapa regulasi harus sejalan dengan dinamika ekosistem digital.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam era digital, transparansi aturan menjadi modal utama. Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, menyatakan bahwa rancangan regulasi akan menjabarkan jenis layanan digital yang dikenai pajak, mekanisme pemungutan, dan dokumentasi wajib pelaku usaha. Saat pelaku bisnis mengetahui secara spesifik apa yang harus dipungut dan dilaporkan, insentif untuk patuh akan meningkat. Kepastian hukum tidak hanya mengurangi beban administrasi, tetapi juga memperkuat kepercayaan investor dan konsumen terhadap iklim usaha digital yang sehat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penerimaan pajak PMSE telah mencapai hampir Rp 35 triliun pada Maret 2025, namun masih jauh dari potensi maksimal. Ariawan Rahmat, Direktur Eksekutif IEF Research Institute, menilai ambang batas penunjukan pemungut PPN PMSE sebesar Rp 600 juta per tahun terlalu tinggi, sehingga banyak pelaku skala kecil dan menengah terlewatkan. Dengan menurunkan ambang tersebut (misalnya ke Rp 200–300 juta) pajak dari usaha mikro digital bisa terjaring lebih luas. Hal ini sekaligus mendorong inklusi pajak dan mengurangi beban PPN pada skala usaha yang amat kecil.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Perubahan perilaku konsumen digital menempatkan media sosial sebagai kanal ekonomi baru. Pemerintah berencana memungut pajak atas monetisasi konten oleh kreator, endorsement influencer, dan perusahaan asing penyedia layanan digital (OTT) mulai 2026. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa DJP akan memanfaatkan teknologi data analytics untuk memantau transaksi di platform seperti YouTube dan TikTok. Langkah ini cerdas karena memanfaatkan jejak digital (likes, views, dan transaksi mikro) sebagai indikator pendapatan. Kunci suksesnya terletak pada perlindungan data pribadi dan kolaborasi dengan platform global untuk akses data real time.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Regulasi hanya fondasi; eksekusi memerlukan infrastruktur digital. DJP telah mengembangkan sistem perpajakan terintegrasi berbasis AI dan geotagging (Coretax). Kepala Bidang Penyuluhan Kanwil DJP Jawa Timur III, Vincentius Sukamto, memaparkan bahwa Coretax mempermudah administrasi NPWP digital, meningkatkan akurasi data, dan mempercepat proses ekstensifikasi pajak. Dengan AI, DJP dapat menganalisis pola transaksi digital untuk menandai wajib pajak tinggi risiko dan memberikan peringatan dini. Integrasi ini memerlukan peningkatan kapasitas SDM pajak untuk mengoperasikan dan memelihara sistem canggih.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IEF Research menyoroti empat subsektor digital yang menyimpan potensi penerimaan pajak besar namun masih kurang tergarap. Pertama, aset kripto yang meski sudah dikenai PPN dan PPh, kepatuhannya masih rendah sehingga memerlukan mekanisme withholding tax di bursa untuk memastikan pungutan berjalan efektif. Kedua, peer-to-peer (P2P) lending—yang sudah menyumbang sekitar Rp 3,28 triliun hingga Maret 2025—dapat dijadikan contoh pemajakan bagi subsektor fintech lain seperti insurtech dan wealthtech. Ketiga, ekonomi gig—mulai dari pekerja lepas hingga layanan ride-hailing—diperkirakan mampu menyumbang antara Rp 28 triliun hingga Rp 75 triliun per tahun apabila dikenai PPh dengan tarif 5–10%, meski pengawasannya masih menjadi tantangan. Keempat, layanan kecerdasan buatan (AI) merupakan frontier baru dalam ekonomi digital yang harus segera dipetakan oleh otoritas pajak agar setiap potensi penerimaan tidak terlewatkan. Dalam setiap subsektor, regulasi harus disesuaikan: misalnya, memajaki smart contract di kripto, atau menetapkan withholding tax bagi platform P2P lending.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tantangan utama bukan hanya teknis, melainkan literasi pajak digital. Indeks literasi digital baru 62 % (INDEF 2023), dan literasi keuangan 65 % (OJK 2024). Oleh karena itu, DJP perlu menggandeng fintech, asosiasi UMKM digital, kampus, dan tax center untuk program edukasi praktis. Kolaborasi ini memperluas jaringan penyuluhan hingga komunitas coder, marketplace seller, dan platform content creator.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Transformasi digital membuka peluang bagi profesi ‘taxologist’ (konsultan pajak yang juga ahli data analytics). Ketua IKPI Vaudy Starworld menyebut bahwa taxologist akan menjadi ujung tombak pendampingan pajak digital, mengkombinasikan pengetahuan regulasi dengan kemampuan teknologi. Pemerintah dapat mendukung lewat akreditasi khusus dan beasiswa pelatihan AI untuk taxologist.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Regulasi perpajakan ekonomi digital yang responsif, infrastruktur AI-driven, dan penguatan kapasitas SDM merupakan pilar integrasi pajak digital ke dalam APBN. Pemerintah melalui DJP sudah bergerak ke arah itu yaitu memberi kepastian hukum, menurunkan ambang pemungut, menyisir media sosial, dan membangun Coretax. Langkah ini wajib didukung oleh semua pihak: regulator, pelaku fintech, akademisi, dan wajib pajak. Jika semua bersinergi, pajak digital bukan lagi beban, melainkan pondasi keuangan yang kokoh untuk membiayai pembangunan Indonesia di era super digital.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

)* Pemerhati Keuangan Digital

Related Stories