PBB Tidak Bisa Mengintervensi KUHP
Oleh : Dwi Cahya Alfarizi
Beberapa hari setelah KUHP diketuk palu oleh DPR. PBB menyatakan bahwa pihaknya menyambut baik modernisasi dan pemutakhiran kerangka hukum Indonesia, mencatat dengan keprihatinan adopsi ketentuan tertentu dalam KUHP yang direvisi yang tampaknya tidak sesuai dengan kebebasan dasar dan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesetaraan.
Di hadapan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi, hak atas privasi serta hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan dan kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Dalam pernyataan tersebut, PBB merasa khawatir karena beberapa pasal dalam KUHP yang direvisi bertentangan dengan kewajiban hukum internasional Indonesia sehubungan dengan hak asasi manusia. Meski demikian PBB tidak bisa serta merta mengintervensi KUHP di Indonesia, karena bagaimanapun Indonesia adalah negara berdaulat.
Dalam pernyataan resmi tersebut, PBB menyebutkan bahwa pakar Hak Asasi Manusia (HAM) PBB sebelumnya telah menyampaikan keprihatinan serupa dalam surat yang dikirim ke pemerintah tertanggal 25 November 2022, artinya jauh sebelum RKUHP disahkan menjadi KUHP.
PBB mendorong pemerintah untuk tetap terlibat dalam dialog konsultatif terbuka dengan masyarakat sipil yang lebih luas dan pemangku kepentingan untuk menangani keluhan dan memastikan bahwa proses reformasi sejalan dengan komitmen global Indonesia dan juga TPB.
PBB menyertakan tautan surat untuk Indonesia terkait RKUHP tanggal 25 November 2022. Berikut adalah poin-poin pasal di dalam RKUHP yang menjadi keberatan PBB:
Pasal 2 KUHP mengakui “any living law” di Indonesia, yang dapat ditafsirkan mencakup hukum adat (hukum pidana adat) dan peraturan Syariah (hukum Islam) di tingkat lokal.
Karena tidak ada daftar resmi “hukum yang hidup” di Indonesia, PBB khawatir pasal tersebut dapat digunakan untuk mengadili kelompok rentan dan minoritas secara sewenang-wenang.
Selain itu, Rancangan baru pasal 465, 466 dan 467 KUHP akan mengkriminalkan aborsi apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam ketentuan UU Kesehatan 2009. Seorang wanita yang mengakhiri kehamilaannya dapat dijatuhi hukuman hingga empat tahun penjara. Siapapun yang membantu wanita hamil melakukan aborsi dapat dihukum hingga lima tahun penjara. Ketentuan ini juga dapat diartikan untuk menuntut mereka yang menjual atau mengonsumsi kontrasepsi darurat.
Pada pasal 410 KUHP menetapkan pidana denda paling banyak satu juta rupiah bagi siapa saja yang menawarkan kepada anak di bawah umur dalam bentuk tulisan, potret atau tulisan yang menggambarkan segala cara untuk menghentikan kehamilan; dan jika hal itu disampaikan di hadapan anak di bawah umur, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan atau pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak enam ratus rupiah.
Pasal 410-411 RKUHP yang telah dimutakhirkan mengatur bahwa barang siapa tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan alat penggugur kandungan, menawarkan, menyiarkan tulisan atau mempertunjukkan bahwa dapat memperoleh alat pengguguran kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak 10 juta rupiah. Dengan pasal 412 yang menyebutkan perbuatan demikian tidak dipidana, jika dilakukan oleh pejabat yang berwenang dalam rangka penyelenggaraan keluarga berencana, pencegahan penyakit menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan atu jika dilakukan untuk kepentingan.
Sementara itu, Juru Bicara KUHP Albert Aries menuturkan, tidak benar jika KUHP Indonesia tidak sesuai dengan HAM, sebab politik hukum yang terkandung dalam KUHP bertujuan untuk menghormati dan menjunjung tinggi HAM berdasarkan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945.
Dirinya juga menghormati concern PBB atas isu-isu kesetaraan, privasi, kebebasan beragama dan jurnalisme. Menurutnya, KUHP baru Indonesia juga mengatur semua itu.
Atas dasar itulah, KUHP mengatur semua itu dengan memperhatikan keseimbangan antara hak asasi manusia dan juga kewajiban asasi manusia. Perlu ditegaskan bahwa KUHP sama sekali tidak mendiskriminasi perempuan, anak dan kelompok minoritas serta Pers, sebab seluruh ketentuan terkait berasal dari KUHP sebelumnya yang sudah sedapat mungkin disesuaikan dengan misi dekolonisasi, demokratisasi dan modernisasi yang diusung oleh KUHP.
Dirinya menyampaikan salah satu contohnya adalah diadopsinya pasal 6 huruf d UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers ke dalam Pasal 218 KUHP. Menurutnya, dalam pasal tersebut penyampaian kritik tidak dipidana.
Albert juga menyebutkan bahwa penyusunan KUHP juga sudah melibatkan masyarakat sipil secara maksimal. Dia menyebutkan pembentukan KUHP baru bukan lagi karena tenggat waktu, tapi kebutuhan pembaruan hukum pidana dan sistem pemidanaan modern.
PBB tentu saja menunjukkan perhatiannya terhadap adanya KUHP di Indonesia, meski demikian PBB tidak bisa mengatur KUHP karena regulasi yang ada di dalam KUHP merupakan aturan yang sebagaimana mestinya orang timur, seperti adanya pasal yang melarang kohabitasi, di mana perilaku tersebut juga terlarang di Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute