Tingginya angka golput mewarnai pelaksanaan Pilkada serentak 2024. Minimnya partisipasi pemilih juga terjadi di Pilgub Jakarta. Angka partisipasi pemilih pada pilkada Jakarta 2024 tercatat hanya mencapai sekitar 4,3 juta suara. Padahal daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 8,2 juta
Terkait hal tersebut, Pengamat Pemilu Ramdansyah mengaku tidak kaget dengan rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2024.
“Inikan sudah kita prediksi sejak awal, dan inikan ketika berulang kali wawancara Elshinta kemudian saya mengingatkan bahwa potensi golput sangat tinggi,” ujar Ramdansyah saat dialog interaktif di Radio Elshinta, Senin (2/12/2024).
“Inikan coba lihat flyer-flyer Elshinta sebelum tanggal 29 Agustus waktu itukan belum dapat form B KWK lalu terkait dengan rekomendasi Ketua umum dan sekjen partai,” imbuh Ramdansyah yang pernah menjabat sebagai Ketua Panwaslu DKI Jakarta.
Bahkan Ramdansyah juga sudah menyampaikan sebelum putusan MK. Kalau nanti misalkan MK tidak membuat penetapan terkait dengan turunnya jumlah prosentase untuk mendukung pasangan calon dari partai politik tertentu maka asumsi dari awal akan muncul oligarki partai politik yang kemudian menyebabkan partisipasi rendah itu terjadi.
“Untungnya, putusan MK tersebut 60 dan 70 waktu itu menyebabkan partai politik dengan jumlah prosentase suara itu hanya dibawah 10 kemudian 8,5 7,5 dan 6,5 persen itu bisa memberikan form B1 KWK atau formulir dukungan kepada pasangan calon berdasarkan keinginan partai politik itu sendiri,” jelas Ramdansyah.
Namun jelas Kabid Kepemiluan Majelis Nasional KAHMI, putusan MK tersebut ternyata tidak dimanfaatkan oleh partai politik.
“Yang artinya tetap kalau bahasa banyak pengamat, tanda kutip tersandera. Tersandera oleh koalisi partai. .Akibatnya inikan pada tanggal 29 Agustus 20204, atau hari terakhir penetapan pendaftaran partai politik ke KPU untuk mengusung pasangan calon ini, banyak yang tidak berdasarkan, kalau bahasa saya berulang kali di Elshinta, Not Real Clean Candidacy,” jelas Ramdansyah yang juga menjabat sebagai Pjs Ketua Umum PB HMI menggantikan Anas Urbaningrum di masa mudanya.
Pencalonan pasangan calon untuk jadi kepala daerah yang tidak berdasarkan transparansi dan akuntabel, jelas Ramdansyah membuat masyarakat tidak merasa dilibatkan. Dan ini menyebabkan orang tidak peduli
“Kemudian ketika kami, punya legal standing untuk pergi ke Mahkamah Konstitusi, minta kepada MK untuk agar partisipasi di masyarakat tetap tinggi, kita minta yang namanya gerakan misalnya coblos semuanya jadi sah. Ternyata MK tidak mengabulkan uji materi ini. Bahkan ketika kami persidangan pembacaan putusan dinyatakan silahkan melepaskan hak, kata hakim MK. Melepaskan hak, karena ini bukan wajib kalau pemilu atau pilkada di Indonesia,” ujarnya.
“Dan yang kedua kata hakim MK, demokrasi di Indonesia itu tengah mencari bentuk. Sehingga kemudian kalau yang kotak kosong di 41 kabupaten/kota dan satu provinsi waktu itu kata hakim, yah nggak apa apa. Ngapain harus kemudian dibawa ke seluruh kabupaten/kota,” imbuh Ramdansyah.
Artinya kalau seluruh 500-an kabupaten/kota itu dilibatkan atau ada kotak kosong diperkenankan, Ramdansyah yakin pemilih yang datang dan mungkin saja milih Gercoss, gerakan coblos semua itu menjadi ikut ke TPS dan kemudian memilih pasangan calon semuanya. Atau kemudian katakanlah kotak kosong yang dilakukan di seluruh kabupaten/kota dan satu provinsi itu orang percaya tinggi.
“Kemudian yang swing voters harus diperhatikan. Pemilih itukan kebanyakan anak-anak muda yang mereka sebenarnya mereka tidak punya pilihan yang jelas. Sehingga dalam banyak analis, anak muda ini kan mengindentifikasi, kalau jaman dulu tahun-tahun sebelum massa internet marak, awal-awal reformasi, dia ke keluarga, ke orang tua kemudian ke teman. Hari ini dengan internet minded maka mereka itukan banyak bergantung pada informasi Berlebih di media sosial. Yang kemudian mendengarkan informasi, loh ini pasangan calon tidak dikenal, pasangan calon yang masuk ke Pilkada tidak begitu diketahui, itukan sangat berkeliaran di internet. Sehingga informasi ini banyak orang tidak mau memilih atau Gercoss atau pasif, tidak mau ke TPS itu menyebar bagaikan wabah. Nah ini menurut saya yang harus kita antisipasi,” beber Ramdansyah.
“Ini poin penting saya, anak muda itu pemilih kalau bahasa KPU kemarin menyatakan 52 persen itu adalah pemilih-pemilih gen milenial, sumber dari KPU. Tapi mereka itu versi saya hanya dimanfaatkan saja suaranya. Jadi suara mereka diatas 50 persen tetapi nggak ada anak-anak muda yang kira-kira katakanlah Emil Dardak yang di Jawa Timur misalkan tapi itukan batasannya diatas 30 tahun.
Yang kita cari adalah mereka yang dibawah 30 tahun tetapi bisa juga dicalonkan. Bahkan Afirmasi anak muda di parlemen di banyak negara itu terjadi. Jadi afirmasi tidak hanya perempuan Tapi anak muda dibawah 30 tahun itu menjadi poin penting,” imbuhnya.
Karena jelas Ramdansyah, hasil riset di Indonesia menunjukkan pemilih yang pertama banyak dipilih, yang dipilih itu mereka yang berusia 30 sampai 60 tahun.
Lalu urutan kedua 60 keatas. Yang terakhir dibawah 30 itu paling rendah.
“Sehingga kemudian buat apa milih. Kalau kemudian kami tidak dipilih berpartisipasi di parlemen,” jelas Ramdansyah.
Soal pendidikan untuk pemilih. Apakah KPU punya anggaran yang cukup?
“Jawaban saya tidak. Yang punya anggaran yang cukup Adalah Bawaslu
Karena KPU lebih kepada aspek teknis. Kalau pendidikan pemilih, dulu awal-awal orde reformasi itu pendidikan pemilih dengan dana UNDP atau lembaga lainnya itu banyak. Tapi hari ini tidak ada. Dan itu hanya bergantung kepada Anggaran KPU yang berdasarkan dari APBN. Dan kalau APBD tidak ada dana hibah untuk itu yang ada kebanyakan kegiatan dari Kesbangpol. Atau kegiatan Bawaslu yang kegiatannya untuk pencegahan itu cukup banyak dan KPU bisa ikut terlibat,” ujarnya.
Kemudian jelas Ramdansyah, pasca debat kandidat sampai tiga ternyata banyak publik tidak peduli. Contoh terkait dengan masalah green city atau lingkungan hidup itu sesuatu yang tidak menyentuh publik.
“Yang menyentuh publik kan terkait dengan UMKM dan ekonomi atau pada debat kedua,” ujarnya.
Kemudian jelas Ramdansyah, tugas untuk melakukan pendidikan pemilih tidak hanya pasangan calon. Atau juga tim kampanye pasangan calon, tetapi tugas partai politik.
“Tugas partai politik itu adalah melakukan pendidikan politik dan dia harus menjaga Konstituennya. Untuk kemudian memilih pasangan calon yang diusung partai. Yang kedua bertanggung jawab kepada swing voters. Tadi swing voters ada yang namanya anak muda. Itu harus mendapat pendidikan pemilih, pendidikan politik, literasi politik terhadap anak muda. Kemudian kepada publik yang lebih luas dan partai kalau tidak melakukan itu, hari ini yang terjadi seperti ini,” jelas Ramdansyah.
Menurutnya, partai merasa bahwa sudah memberikan dukungan dengan form B KWK itu, mendaftarkan itu selesai.
“Padahal tidak, dan itu menurut saya penyebab jumlah pemilih di Jakarta saja 4 juta mungkin separo ini penyebabnya.
Jadi partai politik juga harus bertanggung jawab juga terkait rendahnya jumlah pemilih. Dan saya kebetulan lagi menulis buku yang saya akan serahkan kepada Bawaslu tanggal 9 nanti terkait afirmasi anak muda. Saya mencoba menawarkan, anak muda itu tentu saja harus didekati dengan namanya IT minded atau kemudian melekat pada dirinya teknologi informasi. Nah yang saya tawarkan kami contoh akan membuat gamemifikasi,” ujar Ramdansyah.
Gamemifikasi adalah membuat game-game yang seperti kita lihat ada pemandangan strategis dan lain-lain.
“Game terkait pemilu, harus kita mulai dan saya sudah menyiapkan itu dalam 10 buku yang akan saya serahkan ke Bawaslu. Gamemifikasi ketika terjadi pelanggaran bagaimana cara melapor itu dalam bentuk law playing yang dilakukan di internet dan dalam sebuah permainan,” jelas Ramdansyah.
Apa yang harus menjadi tugas dari partai politik terkait pendidikan politik?
Menurut Ramdansyah, ada yang namanya teori The Broken Window Teori, ketika jendela pecah maka kita semua yang menjaga jendela itu. Sehingga kemudian jendela itu tidak semakin parah bahkan rumah kita tidak hilang.
“Artinya, berapapun penyelenggara pemilu sekarang ataupun pengawas TPS, berapapun jumlah pengawas ditambah tetapi tanpa ada partisipasi publik untuk menjaga jendela itu maka jendela itu akan kemasukan maling. Mangkanya kita butuh yang namanya polisi masyarakat. Butuh Partisipasi Publik untuk selalu menjaga demokrasi. Dan demokrasi itu tidak hanya prosedural. Hari ini Kita nyoblos 27 November,” jelas Ramdansyah.
“Tapi Demokrasi subtansial yang harus kita kawal jangan pernah kemudian berhenti untuk menyampaikan pendapat, untuk menyampaikan pandangan. Kapanpun dan dimanapun,” pungkasnya.