KUHP Baru Mencerminkan Nilai-Nilai Luhur Bangsa
Oleh: Rizal Arifin
KUHP baru secara resmi telah disahkan pemerintah dan DPR RI menjadi undang-udang. Dengan disahkannya KUHP ini, Indonesia akhirnya memiliki peraturan hukum pidana yang bersifat generalis yang dirancang sendiri setelah dinyatakan merdeka sejak tahun 1945.
KUHP lama merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda. Seiring perkembangan teknologi, wawasan, kebudayaan, dan tatanan masyarakat, KUHP lama tersebut dipandang sudah tidak relevan lagi, khususnya untuk semangat penegakan hukum pidana di Indonesia.
Hal tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Dekan FH USU, Dr. Mahmul Siregar, SH M.Hum yang mengatakan bahwa sudah sejak lama masyarakat kita mendambakan dasar atau konsep hukum nasional yang sesuai perkembangan bukan lagi warisan kolonial Belanda.
Dalam sebuah acara sosialisasi yang diadakan oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Sumatra Utara terkait KUHP baru, dijelaskan bahwa KUHP baru secara historis sudah harus ada sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan.
Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 menyebutkan bahwa hukum dan lembaga-lembaga peninggalan kolonial masih berlaku sepanjang belum dibentuk hukum dan lembaga baru.
Masih dalam acara sosialisasi yang diadakan di Kota Medan tersebut, dijelaskan bahwa KUHP baru yang menggusur KUHP warisan kolonial Belanda itu akan mengalami masa transisi 3 tahun dan berlaku efektif pada 2025. Adapun RUU KUHP yang disahkan menjelang akhir tahun 2022 ini sudah diinisiasi sejak 1958 dan sudah dibahas di DPR sejak 1963.
Pengesahan KUHP baru merupakan langkah yang komprehensif karena KUHP baru akan dilandaskan berdasarkan nilai-nilai dan budaya yang ada di Indonesia. Untuk itu, Guru besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Pujiyono, SH. M.Hum., menjelaskan urgensi dari penyusunan KUHP agar sesuai dengan nilai-nilai yang melekat pada NKRI. Hal tersebut dijelaskankannya dalam acara sosialisasi KUHP baru yang diadakan oleh MAHUPIKI Sumatra utara tersebut.
Dalam cara sosialisasi tersebut, Guru Besar FH Universitas Diponegoro, Prof. Dr. Pujiyono SH M.Hum, yang hadir sebagai narasumber mengatakan bahwa beberapa aspek yang menjadi dasar KUHP baru atau nasional adalah pada KUHP warisan kolonial belum adanya pemisahan aspek individu dan klaster; belum berorientasi pada orang atau aliran modern; tidak ada bab kesalahan atau pertanggungjawaban pidana; korban belum mendapat tempat atau berorientasi hanya pada pelaku; serta denda atau alternatif sanksi sangat sedikit atau sangat ringan karena bernilai pada masa kolonial.
Masih dalam acara sosialisasi tersebut, Prof Pujiyono menjelaskan bahwa dalam konsep KUHP yang baru korban memiliki posisi yang strategis dimana korban mendapatkan ruang lebih didalam menentukan proses penyelesaiannya. Prof Pujiyono juga menjelaskan bahwa oriensi KUHP Baru terletak pada perlindungan anak, korban dan pelaku.
Penulis sangat setuju dengan pernyataan Prof Pujiyono tersebut, bahwa KUHP baru merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur yang ada di Indonesia. Pengesahan KUHP baru buatan bangsa ini menjadi angin segar bagi bangsa Indonesia karena dengan adanya KUHP baru menjadi harapan di tengah ketidakpastian penegak hukum yang ada di Indonesia.
KUHP yang baru tentunya memberikan angin segar bagi penegakan hukum pidana di Indonesia. Karena penyusunan KUHP baru merupakan diskursus yang panjang untuk bisa menjadi KUHP Nasional. Oleh karena itu, penulis setuju dengan pernyataan dari Ketua Mahupiki Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi yang mengatakan bahwa KUHP baru merupakan produk hukum anak bangsa yang memberikan dampak positif bagi bagi penegakan hukum pidana di Indonesia.
Dalam acara sosialisasi KUHP di Medan tersebut, Prof Marcus mengatakan bahwa Undang-undang pidana pada hakekatnya bersifat selalu mengurangi kebebasan seseorang, oleh karena itu potensi perbedaan pendapat atas suatu rumusan delik dalam KUHP baru adalah hal yang wajar dan perlu diselaraskan dengan sosialisasi.
Guru Besar Hukum Pidana UGM itu juga mengatakan, reaksi yang muncul dalam pengesahan KUHP baru pasti muncul dan hal ini merupakan sesuatu yang terbilang wajar. Secara prinsip, walau belum sempurna, Prof. Marcus menyambut baik kehadiran KUHP yang baru ini. Ia mengapresiasi, usaha menyeimbangkan kepentingan umum dan individu, hak asasi dan kewajiban asasi, korban dan pelaku tindak pidana dan lain-lain. Di dalam pidana memiliki tujuan, tujuannya adalah untuk melakukan perlindungan atau pembinaan individu. Pidana juga untuk memberikan perlindungan kepentingan umum atau masyarakat.
Penulis juga mendapatkan sesuatu yang menarik dari narasumber lain yang merupakan akademisi Universitas Indonesia, Dr. Surastini Fitriasih, SH., MH. Ia mengatakan bahwa KUHP baru buatan bangsa merupakan pekerjaan proses dialektika hukum yang panjang dan tidak mudah, meski begitu KUHP baru buatan bangs ini diharapkan dapat menjadi tolak ukur hukum pidana yang sesuai nilai-nilai Indonesia.
Dalam sosialisasi tersebut, Surastini mengatakan bahwa perjalanan pembentukan KUHP baru nasional memang cukup panjang. Berbagai masukan sudah diupayakan untuk dipertimbangkan. Meskipun belum sempurna, kita sudah membutuhkan KUHP buatan bangsa sendiri yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia.
Kesimpulan yang dapat penulis ambil dari acara kegiatan sosialisasi KUHP Baru tersebut diantaranya KUHP yang baru disahkan merupakan produk nasional yang telah dibahas sejak lama. Bahkan, KUHP pembahasan KUHP juga sudah banyak melibatkan banyak pakar dan praktisi hukum tanah air. Dengan demikian, sudah sepatutnya kita sebagai bangsa Indonesia bangga dan mengapresiasi KUHP baru dengan memahami substansi aturan hukum tersebut.
)* Penulis Merupakan Pegiat Lembaga Hukum Bhinneka