MAHUPIKI dan Ahli Hukum Tegaskan KUHP Baru Bukti Kongkrit Pemerintah Ciptakan Kepastian Hukum Pidana
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) Yenti Garnasih mengatakan sosialisasi KUHP Baru yang telah disahkan pada 6 Desember lalu menjadi hal penting dan mutlak perlu dilakukan kepada masyarakat diseluruh daerah.
KUHP baru yang telah disahkan merupakan bukti kongkrit dan niat baik (goodwill) pemerintah untuk ciptakan kepastian hukum dalam hukum pidana.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Mahupiki Yenti Garnasih saat menjadi narasumber sosialisasi KUHP yang diselenggarakan atas kerjasama Mahupiki dan Universitas Andalas Sumatera Barat di Hotel Santika Premiere Padang Sumatera Barat, Rabu (11/1/2022).
Yenti Garnarsih mengatakan upaya sosialisasi pemerintah untuk menciptakan kepastian dalam hukum pidana yang tertuang dalam KUHP baru patut di apresiasi karena sosialisasi tersebut dilakukan daerah – daerah di Indonesia hingga pemberlakuannya nanti dalam 3 tahun kedepan.
Menurut Yenti Garnasih ada sejumlah keunggulan dari KUHP baru ini antara lain : bertitik tolak dari asas keseimbangan, Rekodifikasi Hukum Pidana yang terbuka dan terbatas, Tujuan Pemidanaan, Pedoman Pemidanaan, 11 pertimbangan bagi hakim sebelum menjatuhkan pemidanaan, Penentuan sanksi pidana dengan Modified Delphi Method, Putusan Pemaafan Oleh Hakim (Judicial Pardon), Pertanggungjawaban pidana korporasi, Mengutamakan pidana pokok yang lebih ringan, Perluasan jenis pidana pokok (Pengawasan dan Kerja Sosial, Pembagian Pidana dan Tindakan ke dalam 3 kelompok (umum, anak, korporasi), Pidana denda diatur dalam 8 kategori, Mengatur penjatuhan pidana mati secara bersyarat sebagai jalan tengah pro kontra pidana mati, Mencegah penjatuhan pidana penjara utk TP Max 5 Tahun, Mengatur alternatif pidana penjara berupa pidana denda, pidana pengawasan, dan pidana kerja sosial, Mengatur Pemidanaan Dua Jalur, yaitu berupa Pidana & Tindakan, Mengatur Pertanggungawaban Mutlak (Strict Liability) & Pertanggungjawaban Pengganti (Vicarious Liability).
Pemidanaan bertujuan mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana, ujar Yenti Garnasih.
Pada pasal 53 KUHP yang baru tentang peoman pemidanaan menyebutkan hakim wajib menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, Jika terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan, tutur Ketua Umum Mahupiki.
Sementara itu ditempat yang sama Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Prof Dr R Benny Riyanto SH MH CN mengatakan urgensi mengganti KUHP (WvS) dengan KUHP Nasional atau KUHP baru ada 4 argumen, antara lain: pertama, terjadi perubahan paradigma, dari paradigma keadilan Retributif (Balas dendam dengan penghukuman badan), menjadi Keadilan Korektif (Bagi Pelaku), Keadilan Restoratif (Bagi Korban), Keadilan Rehabilitatif (Bagi Pelaku dan Korban), kedua, amanah sesuai TAP MPR II/MPR/1993 tentang GBHN, UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN, ketiga, secara Politik Hukum KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Negera yaitu Pancasila, dan keempat, merupakan perwujudan Reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh berdasarkan: Nilai-nilai Pancasila Budaya Bangsa dan HAM secara universal.
Prof Benny memastikan Pemerintah telah melakukan diskusi dan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait, organisasi profesi, akademisi, praktisi, ahli, dan unsur-unsur masyarakat dalam membahas substansi dan materi yang diatur dalam KUHP baru.
Sementara itu, Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo SH MA mengatakan KUHP baru ini memiliki sejumlah isu aktual antara lain: Living law, Aborsi, Kontrasepsi, Perzinaan, Kohabitasi, Perbuatan Cabul, Tindak Pidana terhadap Agama atau Kepercayaan, Tindak Pidana yang berkaitan dengan Kebebasan Berekspresi.
Perzinaan dan kohabitasi sempat ada perdebatan pasal itu. Jadi, kita menjembatani kelompok liberal dan religius. Dalam pasal tersebut, penggerebakan dilakukan jika ada delik aduan dari pasangan sah. Ini untuk membatasi agar tidak semua orang melakukan pengaduan, ujar Prof Harkristuti
Prof Harkristuti menyebutkan sanksinya sendiri untuk Tindak Pidana Perzinahan sanksi pidana 1 tahun penjara atau Pidana Denda. Kategori II (max 10 juta). Sedangkan untuk Tindak Pidana Kohabitasi sanksi pidana 6 bulan penjara atau Pidana Denda Kategori II (max 10 juta).
Perbuatan cabul akan dipidana jika perbuatan cabul dilakukan di muka umum, dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipublikasikan sebagai muatan pornografi. Sedangkan perbuatan cabul yang dilakukan di ruang tertutup/privat, tanpa kekerasan dan tidak untuk materi pornografi, tidak dipidana, ungkap Guru Besar hukum Pidana UI.