KUHP Nasional Akomodir Seluruh Aspirasi Publik, Masyarakat Indonesia Patut Berbangga
Oleh: Aruna Prasetyo
Penantian panjang kini telah berakhir dengan telah disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU No 1 Tahun 2023 tentang KUHP pada tanggal 6 Desember 2022 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Sebagaimana diketahui, proses pembuatan KUHP yang baru ini memakan waktu yang sangat lama bahkan butuh puluhan tahun hingga KUHP diterbitkan.
Terdapat sejumlah pertimbangan yang menjadi alasan diperlukannya KUHP yang baru. Jika ditelusuri kembali ke zaman dahulu, KUHP lama dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, KUHP lama yang digunakan tidak memiliki kepastian hukum.
Hal tersebut dikarenakan sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah saat itu belum menetapkan terjemahan resmi dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) atau yang disebut dengan KUHP.
WvSNI merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang diberlakukan di Belanda sejak tahun 1886. Tetapi, pemerintah Belanda yang menduduki Indonesia saat itu menerapkan penyesuaian dalam memberlakukan WvS pada tahun 1918.
Beberapa pasal dihilangkan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda. Saat itu, Indonesia yang dijajah Belanda masih bernama Hindia Belanda. Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengganti sebutan WvSNI menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP pada 1946.
Penyempurnaan KUHP Nasional secara holistik telah mengakomodir masukan dari masyarakat agar tidak terjadi kriminalisasi yang berlebihan dan tindakan sewenang-wenang dari penegak hukum dengan memperbaiki rumusan norma pasal dan penjelasannya.
Dalam sosialisasi KUHP yang digelar MAHUPIKI di Padang Sumatera Barat pada 11 Januari 2023, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Prof Dr R Benny Riyanto SH MH CN mengungkapkan bahwa secara Politik Hukum, KUHP (WvS) tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Negera yaitu Pancasila. Sedangkan KUHP Nasional merupakan perwujudan Reformasi sistem Hukum Pidana Nasional secara menyeluruh berdasarkan Nilai-nilai Pancasila Budaya Bangsa dan HAM secara universal.
Dengan demikian, urgensi mengganti KUHP (WvS) dengan KUHP Nasional ada 4 argumen, yaitu Terjadi perubahan paradigma, Amanah (TAP MPR II/MPR/1993 tentang GBHN dan UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN), WvS tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa maupun dasar falsafah Negera yaitu Pancasila, dan perwujudan Reformasi sistem Hukum Pidana Nasional.
Prof. Benny mengatakan, sosialisasi ke masyarakat penting dilakukan dalam masa tiga tahun transisi ini. Namun, proses tersebut disampaikan Benny tidaklah mudah, karena membutuhkan kerja keras dari para penegak hukum maupun para dosen, khususnya yang mengajar hukum pidana.
Prof Benny juga menjelaskan bahwa KUHP yang berlaku di Indonesia berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS) dan diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. WvS ini pun belum ada terjemahan resminya, sehingga menimbulkan multitafsir. Upaya pembaruan KUHP dimulai sejak 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Pada tahun 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional.
Harapannya, agar KUHP Nasional dapat dilaksanakan secara keseluruhan, serta dapat mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Namun, proses tersebut tidak mudah, karena membutuhkan kerja keras dari para penegak hukum maupun para dosen, khususnya yang mengajar hukum pidana.
Seluruh pihak harus bekerja keras untuk melakukan sosialisasi guna memberikan pemahaman tentang KUHP baru. Untuk itu, semua elemen masyarakat harus mampu beradaptasi terkait dengan kemajuan zaman sekarang dan selalu berpandangan positif.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo, menjelaskan sejumlah isu actual terkait KUHP baru, antara lain, Living Law, Aborsi, Kontrasepsi, Perzinahan, Kohabitasi, Perbuatan Cabul, Tindak Pidana terhadap Agama atau kepercayaan serta tindak pidana yanag berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
Hakristuti menjelaskan KUHP lama peninggalan Belanda tersebut terdapat 628 pasal. Adapun, isinya lebih banyak pembaruan terhadap hukum pidana di Indonesia. Sehingga penerapan sanksi pidana dinilai menjadi tidak terarah. Menurutnya, hal itu dikarenakan setiap ada undang-undang, ada sanksi pidananya.
Terkait Living Law, sebetulnya adalah sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, akan tetapi dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa.
Sementara itu, Prof. Harkristuti menjelaskan juga tentang pasal penghinaan Presiden (Pasal 218) dan penghinaan pemerintah atau Lembaga negara (Pasal 240), dimana pasal tersebut tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena dalam penjelasan pasalnya sudah diberikan bahwa kritik, unjuk rasa dan pendapat yang berbeda tidak dapat dipidana.
Kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, sedangkan penghinaan adalah menghina, menista, dan memfitnah pribadi atau citra/marwah pihak lain.
Perlu diketahui, bahwa tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres dan Pimpinan Lembaga Negara.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI), Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H. mengungkap bahwa terdapat 17 keunggulan KUHP sebagai hukum pidana & sistem pemidanaan modern, antara lain asas keseimbangan, tujuan pemidanaan, perluasan jenis pidana (pengawasan dan kerja sosial) dan pidana denda.
Melalui sosialisasi dan dialog, Mahupiki berharap dengan tertampungnya aspirasi publik sebagai sarana komunikasi dan dialog, tidak hanya menguatkan, tapi yang paling penting masyarakat paham pasal per pasal dari KUHP yang baru ini.
UU KUHP telah mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat Indonesia sehingga hal tersebut dapat disebut sebagai produk bangsa Indonesia dan ini menjadi kebanggaan bagi negeri tercinta.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Hukum Pidana