KUHP Diperlukan Bangsa Indonesia
Oleh : Dwi Cahya Alfarizi
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang diperlukan untuk Indonesia, apalagi pemerintah sudah merevisi peraturan tersebut sehingga pembaruan ini akan menjadi peraturan yang relevan dan tidak ketinggalan zaman.
KUHP yang baru ini merupakan produk hukum anak bangsa yang berisikan keseimbangan antara HAM beserta kewajibannya. Artinya aspek yang dibahas tidak hanya bagaimana menuntut HAM, tetapi juga membahas kewajiban-kewajibannya.
Hal tersebut dikatakan oleh Ketua Masyarakat Hukum dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Sumatera Utara, Dr. Rizkan Zulyadi dalam acara sosialisasi KUHP yang dilaksanakan di Hotel Grand Mecure Medan Angkasa, Medan.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum dari Universitas Diponegoro sebagai salah satu narasumber, Prof. Dr. Pujiono, S.H., M.Hum., menjelaskan bahwa KUHP merupakan refleksi dari peradaban dan sistem nilai suatu bangsa. Indonesia tentu saja membutuhkan suatu UU KUHP yang mencerminkan jiwa dan roh serta mencerminkan peradaban bangsa.
Hal Seanad juga disampaikan oleh Prof. Pujiono bahwa ide dasar KUHP kolonial Belanda menitikberatkan kepada kepentingan dan kebebasan individu, lebih bersifat sekuler dan dipengaruhi konsep separation State and Church.
Sumber dasar KUHP baru dibangun secara sadar berdasarkan nilai-nilai Pancasila, Ide keseimbangan monodualistk, pengalaman historis, kondisi empirik, perkembangan masyarakat baik global dan nasional, perkembangan ilmu serta bahan-bahan komparasi.
Terkait kebijakan formulasi KUHP baru, Prof Pujiono memaparkan, tujuan dan pedoman pemidanaan antara lain adalah azas kesalahan, batas usia pertanggungjawaban pidana anak, bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak dan kewenangan hakim untuk bisa menghentikan atau tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana anak, pidana mati serta kemungkinan terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat.
Sementara itu, Akademisi Fakultas Hukum UGM, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., menjelaskan tentang keunggulan KUHP baru jika dibandingkan dengan KUHP WvS atau versi Belanda yang usianya sudah 30 tahun.
Menurut Prof. Marcus, terdapat 17 unggulan, namun perubahan yang paling mendasar terletak di buku satu, karena dalam buku tersebut terdapat perubahan paradigma tentang pidana, di mana pidana merupakan alat untuk mencapai tujuan.
Di dalam pidana mempunyai tujuan, pertama untuk melakukan perlindungan terhadap individu atau pembinaan individu atau social welfare policy. Pidana juga mempunyai tujuan untuk memberikan perlindungan masyarakat atau social defence policy, serta perlindungan terhadap penyalahgunaan sanksi dan reaksi.
Dengan kata lain, KUHP juga mencegah tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat maupun penyalahgunaan wewenang penegak hukum. Dalam KUHP keadilan restoratif, keadilan korektif dan paradigma rehabilitatif yang semuanya akan membawa kepada persoalan jenis-jenis pidananya.
Pidana dalam KUHP lama sebagian besar menekankan pada jenis pidana bersifat perampasan kemerdekaan. Namun dalam konteks KUHP nasional diberi kemungkinan apabila hakim menjatuhkan pidana kurang dari 5 atau 3 tahun bisa memilih untuk dijatuhi dengan hukum pidana denda, kerja sosial dan pidana pengawasan.
Pada kesempatan yang sama, Akademisi dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Surastini Fitriasih mengungkap berbagai isu krusial, termasuk yang semula tercantum dalam RKUHP, telah didrop dalam KUHP baru. Ada 14 isu krusial, 4 isu sudah didrop, yakni terkait praktik dokter gigi tanpa izin, unggas merusak kebun dan tanah, tindak pidana advokat curang serta tindak pidana penggelandangan karena dinilai untuk bisa diatur di dalam perda.
Terkait ketentuan tentang hukum adat (living law) sebaga salah satu dasar untuk memberikan hukuman. Yang masih menjadi pertanyaan adalah berlakunya hukum tersebut, yaitu di mana hukum tersebut hidup, hukum setempat, sepanjang tidak diatur di dalam KUHP. Namun ada batasan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, HAM dan azas-azas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
KUHP memiliki misi dekolonialisasi yang berarti menghilangkan nuansa kolonial dalam substansi KUHP lama, yaitu mewujudkan keadilan korektif-rehabilitatif-restoratif. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (Standard of Sentencing) dan memuat alternatif sanksi Pidana. Misal pidana pengawasan dan pidana kerja sosial, jika tidak lebih dari lima tahun.
Selanjutnya adalah misi konsolidasi yaitu melakukan Penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas). Tujuannya adalah menghimpun kembali aturan-aturan yang berserakan untuk dihimpun kembali ke dalam KUHP.
Selain itu adapula misi harmonisasi sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (living law).
Apalagi KUHP yang telah direvisi juga memberikan jaminan terhadap HAM seperti kebebasan berpendapat dan berekspresi dengan batas tertentu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam proses penyusunan KUHP juga telah diwarnai dengan beragam diskusi yang sangat intens dan panjang.
Oleh karena itu, KUHP menjadi penting karena Indonesia membutuhkan pembaruan undang-undang yang memang sesuai dengan perkembangan zaman dan menghapus stigma kolonial.
)* Penulis adalah kontributor Persada Insitute