Oleh : Lukman Keenan Adar
Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah disahkan oleh DPR melalui sidang paripurna pada 21 Maret 2023. Dengan demikan UU yang sebelumnya berbentuk Perppu tersebut telah sah menjadi UU yang mengikat. Harapannya UU Cipta Kerja juga menjamin kepastian hukum untuk para pekerja.
Sebelum disahkan, pemerintah sebenarnya sudah menampung aspirasi dari masyarakat terkait dengan berbagai isu yang diatur di dalam UU tersebut, seperti pengupahan terhadap buruh dan sertifikasi halal.
Setelah aspirasi ditampung dan diperbaiki, maka masuk ke Perppu Cipta Kerja dan telah disahkan DPR. Hal ini menunjukkan bahwa DPR telah sepakat dengan substansi Perppu menjadi UU seperti yang diusulkan oleh pemerintah.
Di dalam menjalankan aktivitas perusahaan, pengusaha tentu mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak dari setiap pekerja. Seperti hak untuk mendapatkan perlindungan, kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja.
UU Cipta kerja juga mengatur hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
Kemudian dari sisi pengupahan, UU Cipta kerja juga mengatur upah minimum dengan jaring keselamatan atau safety net bagi pekerja di bawah masa kerja satu tahun. Sedangkan untuk pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun, UU Cipta Kerja memperkenalkan upah produktivitas.
UU Cipta Kerja memberikan kepastian bonus hingga jam lembur. Airlangga menyebutkan, dalam UU Cipta Kerja, salah satunya sudah diatur tentang bonus yang akan diterima para buruh. Bahkan telah diatur pula jam lembur para buruh. Jumlah jam lembur juga ditambah dari tiga jam menjadi empat jam per hari. Hal ini tentu akan menjadikan buruh menjadi lebih produktif.
Dengan peraturan tersebut harapannya tidak akan ada keributan dalam penetapan upah minimum saban tahunnya.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, dari konteks ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja merupakan bukti komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan tenaga kerja dan keberlangsungan usaha untuk menjawab tantangan perkembangan dinamika ketenagakerjaan.
Salah satu jaminan yang perlu disorot adalah adanya perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu istirahat yang upahnya tetap dibayar penuh, serta terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Sebelumnya sempat beredar kabar yang mengatakan bahwa pekerja kontrak ditekan haknya dan dipinggirkan. Nyatanya justru tidak demikian. Pada pasal 61 ayat 1-3 tentang perjanjian kerja waktu tertentu (Kontrak) akan tetap diberi uang kompensasi sesuai dengan masa kerjanya kepada buruh.
Dalam pasal tersebut berbunyi :
Ayat 1, Dalam hal PKWT berakhir, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada pekerja/buruh.
Ayat 2, Uang kompensasi diberikan sesuai dengan masa kerja pekerja/buruh.
Ayat 3, Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur dengan PP.
Sementara itu, di pasal 59 ayat 2 yang berbunyi, perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, pasal tersebut mengandung makna bahwa seorang statusnya sudah menjadi pekerja tetap tak bisa berubah menjadi kontrak.
Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa kekhawatiran yang berkaitan dengan pemberi kerja yang bisa bersikap sewenang-wenang dengan mengutak-atik status dan kontrak kerja tidak diberi ruang oleh UU sapu jagat ini. UU ini justru menjunjung tinggi azas keadilan fairness dalam konteks hubungan pemberi kerja dengan buruh.
Dalam UU Cipta Kerja disebutkan bahwa pemerintah akan membantu para karyawan yang terkena PHK dengan memberikan berbagai pelatihan kerja. Selain itu, jika belum mendapatkan pekerjaan, pemerintah akan memberikan bantuan berupa uang tunai yang akan dibayarkan selama enam bulan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Kebijakan terkait dengan UU Cipta Kerja diambil mengacu pada penyerapan aspirasi UU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah di beberapa daerah, antara lain Manado, Medan, Batam, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Balikpapan dan Jakarta. Bersamaan dengan itu telah dilakukan kajian oleh berbagai lembaga independen.
Adanya perlindungan yang adaptif bagi seluruh pekerja atau buruh di Indonesia merupakan hal yang sangat penting untuk bisa dijamin, hal tersebut lantaran memang tantangan tersebut terus berubah secara dinamis. Sehingga adanya UU Cipta Kerja merupakan upaya konkret dari Pemerintah RI dalam memberikan perlindungan tersebut.
Di sisi lain, UU Cipta Kerja juga memberikan kewajiban perlindungan terhadap pekerja penyandang disabilitas. Hal tersebut merupakan amanat dari Pasal 67 UU Cipta Kerja.
Pada pasal 67 UU Cipta kerja berbunyi, Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kedisabilitasnya.
Mengetahui hal-hal tersebut tentu patut direnungkan kembali, apakah UU Cipta Kerja merugikan Buruh atau justru memberikan perlindungan terhadap Buruh dengan adanya kepastian hukum.
Tentu saja tidak salah jika UU Cipta Kerja disebut juga sebagai UU Sapu Jagat, karena regulasi yang tertulis di dalamnya tidak hanya mengatur tentang pendirian usaha atau investasi, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap pekerja atau buruh. Dengan disahkannya aturan ini maka diharapkan investasi semakin mudah dan lapangan pekerjaan dapat terbuka lebar.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute